Selasa, 10 November 2015

HARI ITU


Seorang anak tampak sedang berdiri disamping jendela sebuah sekolahan tua. Sekolahan itu terlihat begitu rapuh sekalipun sudah mengalami renovasi berkali-kali. Dindin-dinding itu seperti lembaran kain yang mulai menjamur. Sesekali air hujan meresap masuk dan menodai keindahan ruang kelas sederhana mereka. Genteng-gentengnya terbuka sebagian, menyediakan akses petir untuk bisa menerobos masuk kedalam kelas dan menewaskan beberapa siswa yang sibuk menuntut ilmu. Tiang-tiang disana seakan sedang menjerit-jerit dengan bahasa yang tidak bisa kita dengar “Aku sudah tidak kuat”.
Merekalah saksi bisu dari segala bentuk kehidupan di masa lalu. Seperti nyawa tua yang terus menerus dipaksa untuk berdiri tegak, beberapa dindingnya sudah rapuh dan mungkin akan roboh jika didorong sedikit saja.
Namun dibalik dinding yang berusia kurang lebih satu abad itu, masih diisi oleh tawa anak-anak yang menggenggam pensil mereka dengan tangan kumuh. Anak-anak malang itu mendapatkan pelajaran spesial dari guru-guru muda sukarelawan yang masih memiliki hati untuk menularkan ilmu mereka walau hanya sedikit.
Siapa saja tidak akan tega melihat bagaimana bocah-bocah terlantar itu belajar tanpa seragam. Hati mereka akan iba begitu sekali saja melewati jalan ke sekolah ini, dan keesokan harinya mereka tidak akan mau melewati gang ini lagi. Pedih rasanya menatap kenyataan tersebut dengan mata telanjang. Kehidupan yang seolah hanya terjadi dalam cerita drama ini ternyata nyata.
Anak yang berdiri disamping jendela sekolah itu sudah mematung disana selama satu setengah jam. Payung yang digenggamnya tidak seratus persen melindunginya dari terpaan hujan dan angin sore yang membunuh. Bulu kakinya yang tipis tampak berdiiri. Bibirnya yang mulai membiru terlihat begitu butuh minuman hangat.
Apakah dia lelah? Jawabannya pasti iya. Apalagi dengan kondisi perut yang keroncongan seperti sekarang.
Hingga pada akhirnya seorang anak laki-laki dari sekolah itu yang sepertinya empat atau lima tahun lebih tua darinya datang menghampiri.
“Putra! Mengapa kau disini?” tanya sang kakak dengan sedikit berteriak karena suaranya melebur bersama air hujan.
“Aku lapar!” balas anak kecil itu dengan suara paraunya.
Aldo, kakaknya, langsung menerobos hujan untuk menghampiri adik laki-lakinya yang menunggu karena belum mendapatkan makan siang. Wajahnya marah. Dia sebal mengapa Putra berlaku senekat ini.
“Pulang!” teriak Aldo kesal.
“Tidak mau!”
“Pulang sekarang!”
“Tidak mau! Aku lapar!” jerit si bocah yang kelaparan hingga suara melengkingnya mampu menandingi guntur diatas sana.
“Kenapa kau tidak menungguku dirumah?!” Aldo mengguncang bahu-bahu mungil adiknya yang terasa dingin seperti bongkahan es. Seketika payung yang digenggam Putra jatuh.
Anak kecil itu menangis lagi, entah sudah yang keberapa untuk hari ini. “Sudah kubilang! Aku kelaparan! Aku tidak bisa menunggu!” jerit anak itu ditengah hujan.
Aldo menunduk. Dia mengerti rasanya tidak makan sejak pagi karena beratus-ratus kali dia sudah merasakannya. Wajar jika Putra menuntut makan siang gratis yang diberikan sekolah untuknya. Aldo adalah kakak, yang bertanggung jawab penuh memelihara Putra agar terus hidup.
“Kakak! Berikan aku makanan sekarang! Aku lapar! Aku lapar, kak!” Putra menarik-narik tangan Aldo sambil menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang mungil terlihat begitu menyedihkan ketika ditimpa tetesan air hujan yang kejam.
Aldo ingin menangis melihat kondisi adiknya. Beginilah kehidupan sehari-hari mereka usai ditinggal pergi oleh ayah dan ibu mereka. Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Kini Aldo hidup sebatang kara dan berkewajiban menghidupi adiknya. Terkadang dia merasa tidak kuat dengan kehidupan. Ingin rasanya meminum racun serangga dan membunuh diri sendiri demi tidak mau hidup sengsara. Tetapi Aldo tidak seegois itu. Dia tidak mau meninggalkan Putra, adiknya yang tidak berdosa, dan membiarkannya hidup seorang diri. Setidaknya menderita berdua lebih baik daripada sendirian di dunia.
Aldo dan Putra bersekolah di tempat ini. Sang kakak yang berusia tujuh belas tahun bersekolah setiap tiga hari sekali, di hari yang berbeda dengan Putra yang juga sekolah seminggu dua kali. Setidaknya sekolah itu gratis bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, bagi mereka yang masih ‘bersedia’ belajar di sarang cacing ini. Sekolah menyediakan makanan gratis untuk siswa mereka. Itulah salah satu faktor mengapa Aldo dan Putra betah disini, di bangunan tua nan angker yang sesungguhnya tidak nyaman dipakai belajar. Mereka membutuhkan makanan untuk mengisi perut.
Lelaki kecil itu masih menarik-narik tangan kakaknya penuh harapan. Perlahan, Aldo memasukkan tangannya kedalam saku. Dia mengeluarkan sepotong roti yang sudah berkurang setengah. Mata Putra berbinar begitu melihat sisa makanan itu. Dia segera merampas roti digenggaman kakaknya dan menelannya bulat-bulat.
Aldo tersenyum kecil melihat Putra kecil yang tampak begitu bersyukur dengan sisa makan siang gratisnya. Tangan lelaki itu ditempelkan ke perutnya sendiri, merasakan getaran dari dalam sana yang menuntut makanan lagi. Meski begitu dia tetap tersenyum.
Pagi itu, Aldo berangkat ke tempat kerjanya, stasiun kereta api. Meski dibawah umur, penjaga disana memperbolehkan Aldo bekerja sebagai pemungut karcis karena kasihan. Jadi keseharian Aldo sehari-hari selain sekolah adalah disini, mencegat para penumpang dan menarik karcis yang mereka beli sebelum memasuki gerbong.
Aldo menatap dirinya di cermin untuk sesaat. Seragam birunya sudah rapi, dasinya memeluk lehernya dengan mantap, juga rambut yang disisir kesamping. Sentuhan terakhir, Aldo memasang topi yang lebih mirip topi security keatas surainya yang hitam legam.
Lelaki itu tersenyum kepada sosok dihadapannya yang tampak sangat gagah dan kuat. Aldo bahkan belum percaya jika dia tumbuh setinggi ini. Dia teringat ibunya yang selalu membelai kepalanya sebelum dia tidur sambil mengucapkan kata-kata manis “Kelak kau akan menjadi pemuda yang sangat tampan”. Begitu katanya.
Bayangan ayahnya ikut melintas dikepalanya. Aldo tersenyum, begitu membayangkan segaris kumis tebal diatas bibirnya dan kulit yang lebih gelap. Ayahnya begitu mirip dengan dirinya.
“Aldo...” panggil seseorang.
Aldo menoleh kearah seseorang yang baru saja melambai kearahnya. Lelaki itu adalah satpam penjaga yang sehari-hari mondar-mandir didepan gerbang stasiun.
“Iya pak?” Aldo berlari kecil mendekatinya.
“Sebentar lagi kereta akan datang, sebaiknya kau bersiap anak muda.” satpam dengan kumis tebal itu menepuk pundak lelaki dihadapannya. Meski rautnya tampak seperti ayah yang suka menghukum anak-anaknya, satpam itu adalah orang yang sangat ramah kepada siapapun.
Aldo mengangguk sambil memamerkan senyumannya yang manis. “Baik pak.”
Kamudian terdengar suara bel kereta api dari kejauhan. Rupanya palang pintu di persimpangan kereta api sudah tertutup dan sebuah kereta uap melaju mengisi kesunyian stasiun.
.
“Hei bocah kecil! Kemarikan makan siangmu atau aku akan mencabut matamu!” seorang anak kecil dengan tubuh gemuk dan kaos kusut tampak menarik kerah seorang anak kecil yang lain. Tubuh anak yang sedang diancam itu begitu kurus. Kulitnya yang putih seperti salju seolah-olah berperan sebagai kain flanel yang membungkus pipa kecil. Tidak ada tanda-tanda kesuburan dalam dirinya.
“Jawab aku bocah lemah! Apakah kau mau memberikan makanan itu untukku?!” tanya si bocah gemuk, dan kali ini dia membanting punggung si bocah lemah hingga menabrak dinding berlumut dibelakangnya.
“Ta-tapi, aku masih lapar.” jawab si anak kecil yang malang itu sambil memeluk kotak makan siangnya. Wajahnya tertunduk seolah malu kepada matahari atas nasibnya yang selalu begini setiap hari.
“Apa?! Jadi kau berani melawanku?!” si bocah gemuk menghampaskan kepala temannya kedinding.
“Sebaiknya kita hajar saja dia hingga dia tidak bisa bicara!” kata teman disampingnya dengan gaya sok jagoan.
“Benar! Biar dia kapok dan mau membagi makanannya! Ibu guru tidak adil. Dia memberikan porsi makanan yang sama kepada setiap anak, sementara tubuhnya jauh lebih kecil dari pada kita!” kata teman disembelahnya lagi yang juga berperawakan sama.
“Hahaha! Ide bagus!”
“Ja-jangan, aku”
‘Bugh!’
Terlanjur sudah. Kotak makanan yang dipeluk anak itu melayang dan menumpahkan isinya kearas lahan kosong yang hanya berisi rumput liar berduri.
“Agh!”
Si bocah yang keras kepala itu memukul pipi temannya hingga kebiruan dan hidungnya mengeluarkan darah. Karena terlalu lemas, si bocah malang langsung kehilangan kesadarannya. Tubuhnya yang tampak seperti sebongkah bambu terhempas keatas rerumputan belakang sekolah yang tumbuh menjulang. Sosoknya terkubur diantara rerumputan dan kekalahan. Si bocah gemuk dan kedua temannya yang juga sama gemuknya menurunkan celana mereka kemudian menyiramkan air seninya keatas tubuh si bocah malang.
“Hahaha! Makan itu dasar pelit!”
“Hahaha! Sebaiknya kita segera pergi nanti Ibu Guru mengetahui kita!”
“Lalu bagaimana dengan bocah ini?”
“Biarkan saja dia disini. Syukur saja kalau dia mati!”
“Hahaha!”
Dan mereka meninggalkan si bocah kurus yang malang itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan.
***
Aldo menyeka keringatnya sambil menghitung hasil yang dia dapatkan di hari ini. Puas rasanya mendapatkan uang dari jerih payahnya sendiri. Lelaki itu melepas topi pemungut karcisnya lalu mengipaskan benda itu ke wajahnya yang basah karena keringat. Untuk sejenak, pandangannya tertuju pada sisa penumpang yang masih berlalu lalang disekitar.
“Hei nak. Bagaimana hasil kerjamu hari ini?” si satpam yang tadi pagi sempat menemuinya kembali menghampiri Aldo.
“Cukup memuaskan. Penumpang hari ini sepertinya lebih banyak dari kemarin.” jawab Aldo.
“Musim mudik sebentar lagi tiba dan orang-orang kota mulai berdatangan. Kau harus bekerja lebih giat lagi.”
“Ah iya, aku mengerti.”
“Oh ya bagaimana dengan adikmu itu?”
“Putra?”
“Ya benar.”
“Aku jadi ingat harus segera pulang dan membawakan dia makan malam. Sebaiknya aku segera berganti pakaian. Sampai jumpa paman.” Aldo menaruh lembaran-lembaran rupiahnya kembali kedalam saku kemudian berlari sambil melambai ke satpam berkumis tebal.
“Hati-hati!”
“Iya!”
“Ah Aldo…Aldo…kau memang seorang pekerja keras.” satpam itu melipat kedua tangannya sambil menatap kepergian Aldo.
Usai melepas seragam dan berganti dengan pakaiannya, Aldo segera mengayuh sepeda menuju warung makan terdekat untuk membelikan Putra makan malam. Langit malam yang hampa seolah tertidur lebih awal, tidak tahan melihat bagaimana perjuangan sang kakak untuk menghidupi adiknya tersebut.
Aldo menatap ke langit. Kosong tidak ada apa-apa disana. Meski begitu dia tetap tersenyum karena hatinya sudah tentram. Penghasilan di hari ini sudah cukup untuk membeli dua porsi makan malam untuk dia dan Putra. Biasanya mereka hanya memakan sebungkus nasi untuk dibagi bersama.
Usai membeli dua bungkus nasi campur dan air putih, Aldo kembali bersepeda. Namun dia terhenti begitu mengetahui rumahnya yang hanya terdiri dari sepetak tanah berdinding keropos itu kosong. Lampu depannya tidak menyala. ‘Putra tidak dirumah?’ pikirnya.
Aldo memutar balik sepedanya dan kembali mengayuh sepeda menuju suatu tempat. Jika Putra belum pulang biasanya dia berkunjung ke toko Pak Kadir untuk membantu-bantu demi beberapa lembar rupiah. Aldo memarkir sepedanya didepan toko Pak Kadir.
Lelaki dengan kaca mata berkalung dan kulit keriput terlihat sedang membaca buku disamping etalase toko. Kulit lelaki paruh usia itu terlihat seperti kain nillon yang baru saja diremas-remas lalu ditempelkan keatas tulang belulang. Meski sudah keriput dan memiliki kemampuan mendengar lemah, Pak Kadir adalah sosok yang suka membantu orang-orang di sekitarnya.
“Pak Kadir!” sapa Aldo sambil melambai.
Pak Kadir menurunkan korannya lalu menyipitkan mata kearah bayangan Aldo yang remang-remang di retina tuanya. “Aldo. Ada apa mencariku?”
“Kukira Putra sedang disini. Kalau begitu aku harus mencarinya.” Aldo terlihat kecewa.
“Dia tidak dirumah?” tanya Pak Kadir terkejut.
“Tidak. Selamat malam Paman!”
Aldo berjalan menuju sepedanya dan pada saat itu juga seorang perempuan yang sebaya dengannya melintas di gang kecil itu. Perempuan dengan rambut hitam lurus yang diikat kebawah itu adalah salah satu pengajar suka rela di sekolah Putra.
“Hei.” panggil si gadis muda dengan suaranya yang bergetar.
Karena merasa terpanggil Aldo berbalik dengan perlahan. Keduanya saling memandang satu sama lain. Tiba-tiba saja hati Aldo yang tadinya terasa membutuhkan selimut langsung menghangat begitu melihat gadis didepannya. Begitu juga gadis itu yang gugup seketika.
Keduanya menaruh hati satu sama lain, tetapi tidak pernah mau mengungkapkannya entah karena malu atau takut.
“ Ada apa La-Laras?” balas Aldo dengan terbata.
Gadis didepannya meremat jemarinya sendiri dengan grogi. Dia menunduk sejenak kemudian kembali menatap lelaki yang dicintainya itu. “K-kau mencari adikmu?” tanya Laras.
“Kau tahu dimana dia?”
“Dia di rumahku. Aku baru saja akan membeli plester luka di toko Pak Kadir dan ternyata kau“
“Apa yang terjadi pada Putra?!” tiba-tiba emosi Aldo meledak. Lelaki itu mengambil beberapa langkah kearah Laras. Air matanya sudah terkumpul dalam waktu yang tidak lama.
“Dia. Sepertinya...  teman temannya “
“Apakah mereka menyakiti Putra lagi?” tanya Aldo dengan suara keras. Dia tidak peduli apakah tetangga sekitar yang sedang beristirahat akan meneriakinya karena bertingkah sesuka hati. Aldo sudah terlanjur tenggelam dalam amarah. Dia mudah sekali terpancing jika hal itu ada sangkut pautnya pada Putra.
“Aldo, tenang dulu“
“Ayo kita ke rumahmu.”
***
Putra meringkuk dengan bibirnya yang kebiruan diatas tempat tidur milik Laras. Selimut tebal membungkus tubuhnya yang setipis tripleks. Mata anak malang itu terpejam rapat seperti sedang pingsan. Nafasnya berhembus dengan lembut, terdengar lirih namun begitu menyayat perasaan.
Aldo menelan ludahnya dengan berat. Dia tidak bisa membayangkan penderitaan seperti apa yang dialami Putra. Sesungguhnya ini bukan kali pertama Putra diperlakukan tidak adil oleh teman sebayanya yang berukuran lebih besar darinya. Selama ini Aldo berusaha sabar dan terus menyemangati Putra agar tetap bertahan dalam kondisi ini. Tetapi tetap saja, Putra hanya sebongkah tongkat yang sebatang kara dan rapuh. Sosoknya yang polos dan penakut membuat siapa saja memperlakukannya dengan sewenang-wenang.
“Aku menemukannya di kebun belakang sekolah. Pakaiannya basah dan berbau tidak enak. Aku juga melihat kotak makanan Putra terbuang sia-sia. Karena panik aku segera membawanya kemari. Lukanya cukup parah dan sepertinya tidak bisa sembuh selama satu minggu. Hidungnya sempat berdarah.” papar gadis muda dengan kulit sebening kristal itu sambil menempelkan plester luka diatas alis Putra. Luka tonjokan yang kehijauan pun masih tampak empuk.
Perasaan Aldo sakit melihat adiknya yang selalu ditindas seperti ini. Kepalan tangannya mengeras, begitu juga rahangnya. Aldo tahu betul anak siapa yang sudah berlaku sekejam ini kepada adiknya. Lama dia mengabaikan anak-anak itu, tetapi kini kesabarannya sudah tergerus habis. Aldo memutar tubuhnya kemudian keluar dari kamar Laras.
“Aldo, kau mau kemana?” tanya Laras sambil mengikuti lelaki berjaket itu.
“Membunuh ayah anak itu.”
“Apa?!” suara Laras meninggi. “Kau tidak bisa melakukannya!” Laras menahan lengan Aldo.
“Lepaskan. Aku harus menunjukkan apa itu keadilan kepadanya!”
“Tidak begini caranya! Gunakan akal sehatmu!”
“Seharusnya ayah anak itu yang menggunakan akal sehat untuk mendidik putera bajingannya!” Aldo berhenti lalu menatap Laras dengan mata yang sudah digenangi butiran kemarahan.
Laras terdiam, genggamannya pada lengan Aldo mengendur. Dan beberapa detik kemudian Aldo sudah menghilang dari ruang tamu. Lelaki itu meraih kemudi sepedanya kemudian mengayuhnya hingga terayun-ayun.
“Aldo! Jangan!” Laras berlari keluar mengikuti Aldo, tetapi terlambat, dia sudah menghilang dari pandangan.
***
‘Tok tok tok!’
Atau yang lebih tepatnya
‘Brak! Brak! Brak!’
Terdengar gedoran tidak sabaran dari pintu sebuah rumah. ‘Brak! Brak! Brak!’ sekali lagi terdengar. Seseorang membukakan pintu. Tampak lelaki dengan kaos singlet warna hitam berkulit sedikit gelap menggaruk-garuk kepala sambil mengeriyipkan matanya kearah si tamu.
“Bisakah kau sabar sedikit?” tanya Asri.
“Mana ayahmu?” tanya Aldo langsung.
“Ada perlu apa dengan ayah? Dia tidak dirumah!” jawab Asri sedikit berteriak.
Aldo melirik seorang anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan dibelakang tubuh Asri. “Minggir kau!” Aldo mendorong Asri lalu menghampiri si anak kecil.
“Brengsek!” panggil Aldo dengan kasar. Si anak kecil langsung gemetaran melihat sosok Aldo yang berdiri tepat dihadapannya.
“Hei ada apa ini?” tanya Asri.
“Anak itu. Adikmu. Dia menghajar adikku hingga pingsan. Apakah kau tidak pernah memberikan contoh yang baik kepadanya?” tanya Aldo.
“Adikku?! Dia tidak melakukan apa-apa pada Putra!” jawab Asri sambil membentak.
“Kau tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Putra! Dia dipukuli hingga memar!”
“Lalu dengan dasar apa kau menuduh adikku!”
“Aku melihatnya selalu menindas adikku ketika di sekolah!”
“A-aku tidak melakukannya!” bohong si anak bernama Sigit itu.
“Kau dengar! Dia mengaku tidak melakukannya!” Asri mendorong bahu Aldo.
Kini ganti Aldo yang mendorong dada lelaki tak berpendidikan didepannya. “Tidak semua mulut anak kecil berkara jujur!” Aldo melayangkan kepalan tangannya ke pipi Asri.
“Sial!” Asri membalas dengan hal yang sama.
Keduanya saling memukul satu sama lain. Terkadang Aldo merintih karena merasakan bagian tubuhnya dihantam dengan tak berperasaan. Dia terus berusaha melawan dengan melakukan hal serupa. Asri menarik pakaian Aldo kemudian membanting tubuh lelaki itu ke atas meja hingga seluruh isinya berhaburan keatas lantai. Toh tidak ada barang berharga di rumah itu. Keluarga Asri juga sama miskinnya dengan Aldo.
“Agh!” Asri merintih begitu Aldo menendangnya hingga menabrak dinding. Tetapi kemenangan itu tidak berlangsung lama. Asri meraih pecahan botol minuman keras yang ada didalam tempat sampah lalu memukulkannya kekepala lawannya.
Aldo terhuyung, tetapi dia kembali memberontak dengan menendang hidung lelaki hitam itu.
“Hentikan!” sebuah suara memecah pertengkaran.
Seorang gadis memasuki rumah Asri tanpa permisi lalu berdiri ditengah-tengah kedua pihak yang sedang beradu fisik. Aldo menatap Laras dengan kaget. Air mata berlinang di pipi gadis itu. Sementara Asri langsung ambruk.
“Kakak!” Sigit berlari kemudiam mengguncang tubuh kakaknya yang mungkin akan kehilangan nyawa jika dipukul sekali lagi.
Setetes darah dari hidung turun melongsori bibir Aldo, bersamaan dengan nafasnya yang hangat. Kepuasan terpancar dari pandangannya, bersamaan dengan rasa sakit yang mulai menggelayuti seluruh persendiannya. Air mata lelaki itu terkubur dalam-dalam meski luka memar dan benjol memenuhi tubuhnya yang sebenarnya sedang lapar.
“Sudah selesai?” tanya Laras dengan intonasi yang mampu membuat Aldo merinding. Keringat Laras melehi pelipisnya. Pakaiannya basah karena keringat. Laras berlarian menuju rumah Asri hanya untuk menghentikan Aldo, tetapi ternyata sia-sia, semuanya sudah terjadi. Dan ini adalah kesalahan paling fatal yang pernah dilakukan Aldo. Tidak seharusnya dia menggunakan otot sebagai jalan keluar masalah.
Laras mengambil langkah cepat keluar dari rumah Asri, mengabaikan tangis Sigit yang semakin menjadi-jadi. Beberapa tetangga datang dan membantu Asri memasuki kamar sambil mengumpat kearah Aldo. “Bocah sial. Bocah liar. Tidak tahu diri”. Aldo mendengar semua ejekan itu.
Tetapi perhatiannya terus menjurus pada Laras yang kini sedang membanting langkahnya. Aldo berlari menghampiri Laras sambil terpincang-pincang. “Laras aku tahu ini salah, tapi“
“Seharusnya kau tidak usah menuruti kemauan nafsumu. Ini hanya akan memperpanjang masalah.” Laras berjalan terus tanpa menoleh ke belakang.
“Maafkan aku.” Aldo berusaha menyeret kaki-kakinya yang kini terasa berat seperti beton. Tiba-tiba perutnya terasa sakit, Aldo merintih dan Laras mendengarnya. Lelaki itu menekan sisi perutnya yang bagai terpelintir. “Agh!” Aldo goyah lalu tumbang ditengah jalan.
“Aldo!” Laras berbalik kemudian berlutut didepan sosok tak berdaya Aldo.
***
“Kakak!” Putra tersenyum usai melihat getaran dikelopak mata Aldo. Perlahan-lahan Aldo membuka matanya yang melekat seperti magnet. Samar-samar dia melihat bayangan Putra, orang yang paling dia sayangi. Senyuman bocah itu merekah bebarengan dengan setitik air mata yang menggelindingi hidungnya.
“Pu-Putra…” lirih Aldo sambil tersenyum juga.
Putra memeluk kakaknya, menyalurkan kehangatan tubuhnya. Kini ganti Aldo yang terluka lebih parah dari pada dia. Putra sangat mencemaskan keadaan Aldo.
“Kata ka’ Laras, Kakak memukuli kakak Sigit…” Putra menangis tersedu-sedu.
“Tidak, itu tidak benar Putra…” jawab Aldo sambil membelai kepala adiknya. Putra tidak pernah membolehkan Aldo memukul atau melabrak siapa saja yang berlaku kasar kepadanya. Anak itu hanya tidak mau membuat Aldo tampak buruk dimata orang lain.
“Jangan melukainya Kakak.” tangis Putra.
“Aku tidak melukai siapa pun Putra-ah… Tidak akan.”
“Bohong! Kau membohongiku! Aku tidak mau kau menjadi orang yang jahat Kakak… jadi jangan melukai siapapun!” air mata Putra sudah membekas di kaos putih yang Aldo kenakan.
Aldo membiarkan adiknya menangis disana. Benar, ternyata pertengkaran bukan hal yang benar. Perkelahian yang sesungguhnya untuk melindungi Putra malah membuat air mata Putra kembali jatuh. Meski sedikit menyesal, Aldo sudah puas dengan apa yang dia lakukan malam ini. Sigit sudah melihat sendiri bagaimana kakaknya dipukuli hingga babak belur. Aldo berharap tidak akan terulang lagi apa yang sudah terjadi pada adiknya.
Laras memasuki ruangan sambil membawa nampan makanan. “Aldo, kau ingat? Kau belum makan apapun, dan ini hampir pagi.” gadis itu menaruh nampan dipangkuannya lalu mendorong sesendok makanan ke mulut Aldo.
Aldo baru ingat jika ternyata dia sedang berada di rumah Laras. Gadis itu yang membawanya kemari dan mengobati lukanya. Untuk sesaat Aldo malu sekali karena melibatkan Laras dalam masalah ini, tetapi senyuman gadis itu seolah mengatakan ‘Itulah gunanya berteman’. Aldo jadi merasa sedikit tidak enak.
Laras meniup sesendok bubur kemudian mendorongnya kedepan mulut Aldo. “Buka mulutmu.”
Aldo melirik makanan itu dengan ragu.
“Ayolah kau bisa sakit.” tutur Laras. Gadis ini memang benar-benar seorang guru.
Aldo berusaha menyimpan rasa malunya dan menuruti apa gadis itu. Laras tersenyum manis. “Jangan bekerja dulu besok. Kau butuh banyak istirahat. Begitu juga Putra, lukamu harus sering-sering diolesi obat jika tidak mau terus seperti itu.”
Aldo jadi membayangkan betapa indahnya jika memiliki ibu seperti gadis ini.
***
Dikeesokan harinya Aldo tetap datang ke stasuin kereta api untuk memungut pundi-pundi rupiah demi memperpanjang nafasnya juga nafas adiknya Putra. Laras sudah menahannya. Bahkan gadis itu mengunci pintu dari luar agar Aldo tidak pergi bekerja, tetapi bukan Aldo jika tidak bertingkah keras kepala.
Aldo hanya tidak mau tampak lemah di hadapan Laras, juga di hadapan adiknya, Putra.
Luka memar menghiasi wajahnya yang penuh senyum. Sesekali dia tertawa kecil begitu seorang penumpang menanyainya : “Mengapa wajahmu jadi seperti itu?” Aldo hanya menjawab : Aku tidak apa-apa”. Bahkan itu bukan jawaban yang sesuai. Lelaki itu hanya tidak mau berbohong. Mungkin benar jika itu kebohongan kecil, tetapi tidak hanya satu atau dua orang yang akan terkena tipu muslihatnya. Aldo akan merasa seperti seorang pembohong jika seluruh penumpang kereta bertanya padanya tentang pertanyaan yang sama.
“Kakak. Ini untukmu.” seorang gadis kecil dengan syal merah muda dan rambut ikal mendekati lelaki itu. Dia menyodorkan plester luka kepada si pemungut karcis. Aldo terkekeh lirih.
“Ini untukku?” tanya Aldo.
Gadis itu mengangguk. Aldo mengambil plester merah jambu dengan hiasan hati. Lucu juga jika dia mengenakannya. Namun akan lebih lucu lagi jika gadis ini menangis karena plester itu terbuang ke tempat sampah hanya karena harga diri si pemungut karcis.
“Aku akan memakainya nanti.” Aldo berkedip kepada gadis yang sepertinya menaruh hati padanya tersebut. Dimasukkannya benda pemberian si gadis kedalam saku seragamnya.
Pipi gadis kecil itu memerah.
“Semoga perjalananmu menyenangkan adik manis!” Aldo melambai.
“Ayo Reni!” panggil orang tua gadis itu.
“Iya sebentar Mama!” balasnya kemudian hengkang dari hadapan Aldo.
Sirine berbunyi pertanda jam istirahat bagi pada pekerja stasiun. Aldo melepas topi kerjanya kemudian melangkah ke ruang ganti. Perutnya keroncongan, mungkin dia harus membeli makan siang.
Usai berganti pakaian Aldo mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari sakunya. Dia menghitung penghasilannya selama satu minggu. Senyuman terukir di bibirnya. Di angannya langsung tergambar wajah bahagia Putra ketika mendapatkan sepatu baru di hari ulang tahunnya.
Tetapi sebuah teriakan terdengar menggema ke seluruh penjuru stasiun. Aldo segera memasukkan uangnya kedalam dompet kemudian menaruhnya di saku celana.
“Seseorang mencopetku!” teriak ibu-ibu muda dengan histeris.
Aldo menghampiri si ibu-ibu yang lemas karena dompetnya dibawa lari orang.
“Bibi, dimana orang yang mengambil dompet Anda?” tanya Aldo yang ikut panik.
“Aku tidak tahu! Dia melintas disampingku lalu mengambil hartaku begitu saja! Kau harus menolongku anak muda!” diam-diam ibu itu mengambil dompet yang terselip di saku kanan Aldo.
“Bibi jelaskan dulu bagaimana ciri orang itu.”
Orang-orang yang ada disekitar mulai mengelilingi Aldo dan si bibi.
“Dia pencopetnya! Orang ini mencopet dompetku!” tiba-tiba si bibi menuding Aldo. Seluruh pasang mata terarah ke lelaki malang itu. Aldo balas memandang mereka dengan wajah ‘Sungguh bukan aku!’ . Kemudian ditatapnya si bibi yang ternyata memiliki niat jahat. Aldo meraba sakunya, dompetnya hilang.
“Hajar dia! Habisi pencopet itu! Biar dia kapok!” Bibi tidak dikenal berlari menjauh, meninggalkan Aldo yang terkepung puluhan calon penumpan kereta.
“Aku tidak mencopetnya. Sungguh aku“kata Aldo dengan wajah marah.
‘Duangh!’ tamparan mentah hampir mematahkan tulang rahang bawahnya.
“Tidak ada maling yang mengaku dirinya maling!”
Aldo terguling ke lantai. Sebuah tendangan dari arah lain. Dahinya mencium lantai sekali lagi. Aldo merintih, ingin menyerang tetapi tidak bisa. Jumlah mereka jauh lebih banyak. Beberapa tendangan lain mencabik-cabik sosoknya yang tidak berdaya.
“Dasar pencopet!”
“Maling tetap saja maling!”
“Huu!”
Air mata jatuh membasahi pipi Aldo. Perasaannya begitu sakit. ‘Kenapa aku sesial ini?’ gumamnya. Seseorang menarik kerah pakaian yang dipakainya kemudian melayangkan pukulan kehidung Aldo. Bekas luka kemarin tertimpa luka baru yang lebih parah, seperti coretan spidol hitam yang ditebali dengan spidol warna merah. Darah segar mengucur dari hidungnya. Aldo kembali terkapar diatas dinginnya lantai stasiun bekas jejak kaki kotor para pengunjung.
Tetapi kemudian terdengar sirine polisi, diikuti jeritan peluit yang membelah teriakan para calon penumpang yang sedang main hakim sendiri.
***
“Hei bocah sial!” panggil seseorang dari belakang tubuh Putra. Anak kecil itu baru saja pulang dari kedai untuk membeli makan siang Pak Kadir. Putra memang sedang mengisi hari liburnya untuk bekerja di toko lelaki tua itu.
Langkah kaki Putra terhenti.
Dia kenal betul siapa pemilik suara itu. Beberapa langkah kaki lain terdengar mendekatinya. Putra memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanannya tanpa menoleh ke belakang. Itu semua akan membuang-buang waktunya.
“Putra!” panggil Sigit dengan suaranya yang lantang.
Putra tetap menguatkan diri untuk berjalan tanpa menghiraukan mereka. Dia sedang tidak berselera untuk dihajar. Luka kemarin masih belum sembuh, dia tidak mau menambah luka baru.
“Apri, Rian, sepertinya anak ini minta diberi pelajaran lagi.” Sigit mengambil sebutir batu lalu melemparkannya kearah Putra. Anak kecil yang terkena lemparan batu itu mengaduh sesaat kemudian meraba kepala belakangnya yang mengeluarkan darah. Kantung makanan di genggamannya terlepas. Putra merasa pusing. Tubuhnya terayun kemudian jatuh.
Sigit dan kedua temannya yang sama-sama setan mendekati Putra.
“Kemarin kakakmu mendatangi rumahku. Dia memukuli kakakku hingga tidak sadar. Apakah kau sudah berani mengadu hah?!” teriak Sigit sambil menahan dada Putra dengan kakinya.
“Ti-tidak! Aku tidak pernah mengadu!”
“Bohong!” Sigit menginjak Putra.
“Sigit! Aku tidak bisa berna-“
“Apri! Tendang wajahnya!” perintah Sigit yang notabenenya ketua dari ketiga gendut itu.
Dengan sekuat tenaga Putra menahan kaki Apri yang sebentar lagi menyentuh pipinya. “Jangan l-lukai aku!” terdapat segelintir rasa takut di suaranya yang bergetar.
“Berani melawan?” tanya Sigit sambil melotot. Kaki kanannya yang sedang bertumpu didada Putra terasa semakin menekan. Putra menggenggam pergelangan kaki anak itu. Dia berusaha menyingkirkannya.
Putra tidak mau lagi ditindas seperti ini. Jika dia tidak berubah maka Aldo yang akan terluka. Putra hanya tidak mau melihat Aldo terus membelanya. Sesuatu dalam hatinya tergugah usai melihat kondisi kakaknya kemarin. Putra tidak mau hal itu terjadi. Sudah cukup Aldo menghajar Asri, Putra tidak mau melihat Aldo membunuh ayah Sigit meski dia sangat membenci Sigit.
‘Kakak jadi tampak jahat karena kelemahanku… Aku harus berani melawan mereka dan berhenti membuat Kakak terluka.’
“Ayo lawan aku bocah sial! Lawan aku! Hahaha!”
Putra mengepalkan tinjunya kemudian menonjok tulang kering Sigit. Anak gendut itu mengangkat kakinya sambil mengaduh kesakitan. Putra segera bangkit lalu memberanikan diri mendekati Sigit. Tinjunya kembali menghantam sang lawan, tetapi kali ini mendarat dipipi gemuk Sigit.
‘Bugh!’
“Argh! Rasakan ini! Beraninya kau melawanku hah!”
Sigit menendang selangkangan Putra. Anak itu kembali jatuh karena rasa sakit yang tak tertahankan. Dua anak yang lain ikut menghajarnya sampai dia tidak bisa berkutik.
***
Hari sudah semakin gelap. Aldo terus berlari dengan kondisi bersimbah keringat. Beberapa polisi mengejarnya. Dia terus berlari memasuki kampung kumuhnya. Energinya telah terkuras habis tetapi kaki-kaki kurusnya tidak bisa berhenti bergerak. Dia bisa tertangkap dan dipenjarakan.
“Berhenti atau kutembak kau sekarang juga, pencopet!”
Aldo tidak menggubris. Dia terus berlari tanpa kenal menyerah. Perutnya keroncongan karena belum makan sejak siang tadi. Lelaki itu memasuki gang kecil menuju kompleks kumuhnya.
Dan disana, Aldo melihat seorang anak kecil sedang dihajar tanpa ampun oleh ketiga bocah bertubuh gendut. Sang kakak segera berlari menghampiri adiknya yang sudah berdarah-darah.
“Putra!” panggil Aldo sambil berlari menghampiri anak itu.
“Kakak…” balas Putra lirih.
Sigit melepas cengkeramannya dari kerah pakaian Putra begitu sadar Aldo tiba diantara mereka. Putra melangkah terpincang-pincang menghampiri kakaknya. Sigit dan kedua temannya diam-diam kabur entah kemana.
“Kakak… kakak…” panggilnya lirih. Air mata merembes keluar dari kedua mata bocah itu. Bola matanya bergetar, ada setitik sinar dari sana seolah dia sedang melihap api. Aldo memeluk adiknya yang sudah babak belur.
“Putra… kenapa kau jadi seperti ini?” Aldo mendekapnya penuh kasih sayang. Emosinya bergejolak heboh. Lelaki itu seakan tidak mau melepas pelukannya.
“Aku tidak apa-apa kakak… aku baik-baik saja…” Putra berusaha tersenyum disela-sela kesakitannya.
“Kenapa kau buat adikku jadi seperti ini?!” Aldo berteriak kepada ketiga anak kecil ingusan itu. Lelaki itu bangkit kemudian berjalan ke arah Sigit dan teman-temannya.
“Kakak! Jangan! Biarkan mereka pergi! Jangan pukuli mereka!” Putra menarik pergelangan tangan kakaknya.
Sigit dan kedua temannya segera kabur.
“Aku menyayangimu kakak…” Putra terisak lirih.
“Aku juga Putra… kumohon teruslah bernafas.”
Aldo mencium puncak kepalanya sambil meneteskan air mata juga. Detak jantung Putra melemah dan nafasnya yang pendek semakin tidak terdengar.
‘DORR!’
Tembakan dari arah belakang terdengar hingga menggema ke seluruh sisi gang itu. Aldo merasakan sesuatu yang basah di tangannya. Dia mengangkat tangannya yang sudah bersimbah darah.
Putra mendongakkan kepala untuk menatap kakaknya. Matanya sayu menyaratkan keputus asaan. Dan mungkin di titik inilah saatnya untuk berhenti.
“Putra… Putra…”
Jemari kecil Putra menyentuh perutnya yang berhasil dibobol peluru milik polisi yang mengejar Aldo.
“Kakak… jangan pernah memukuli keluarga Sigit…” lirihnya.
“Tidak! Putra! Aku minta kau terus bernafas jangan pernah tinggalkan Kakak!” Aldo mengguncang bahu adiknya.
Anak kecil itu tersenyum disela-sela kepedihannya. “Aku tidak papa… tenanglah kakak. Aku baik-baik…”
Putra mati didalam pelukan seseorang yang paling disayanginya. Aldo hanya bisa menangisi tubuh Putra yang sudah terbujur kaku dipelukannya.


END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar