Seorang anak tampak sedang berdiri disamping jendela
sebuah sekolahan tua. Sekolahan itu terlihat begitu rapuh sekalipun sudah
mengalami renovasi berkali-kali. Dindin-dinding itu seperti lembaran kain yang
mulai menjamur. Sesekali air hujan meresap masuk dan menodai keindahan ruang
kelas sederhana mereka. Genteng-gentengnya terbuka sebagian, menyediakan akses
petir untuk bisa menerobos masuk kedalam kelas dan menewaskan beberapa siswa
yang sibuk menuntut ilmu. Tiang-tiang disana seakan sedang menjerit-jerit
dengan bahasa yang tidak bisa kita dengar “Aku sudah tidak kuat”.
Merekalah saksi bisu dari segala bentuk kehidupan di masa
lalu. Seperti nyawa tua yang terus menerus dipaksa untuk berdiri tegak,
beberapa dindingnya sudah rapuh dan mungkin akan roboh jika didorong sedikit
saja.
Namun dibalik dinding yang berusia kurang lebih satu abad
itu, masih diisi oleh tawa anak-anak yang menggenggam pensil mereka dengan
tangan kumuh. Anak-anak malang itu mendapatkan pelajaran spesial dari guru-guru
muda sukarelawan yang masih memiliki hati untuk menularkan ilmu mereka walau
hanya sedikit.
Siapa saja tidak akan tega melihat bagaimana bocah-bocah
terlantar itu belajar tanpa seragam. Hati mereka akan iba begitu sekali saja
melewati jalan ke sekolah ini, dan keesokan harinya mereka tidak akan mau
melewati gang ini lagi. Pedih rasanya menatap kenyataan tersebut dengan mata
telanjang. Kehidupan yang seolah hanya terjadi dalam cerita drama ini ternyata
nyata.
Anak yang berdiri disamping jendela sekolah itu sudah
mematung disana selama satu setengah jam. Payung yang digenggamnya tidak
seratus persen melindunginya dari terpaan hujan dan angin sore yang membunuh.
Bulu kakinya yang tipis tampak berdiiri. Bibirnya yang mulai membiru terlihat
begitu butuh minuman hangat.
Apakah dia lelah? Jawabannya pasti iya. Apalagi dengan
kondisi perut yang keroncongan seperti sekarang.
Hingga pada akhirnya seorang anak laki-laki dari sekolah
itu yang sepertinya empat atau lima tahun lebih tua darinya datang menghampiri.
“Putra! Mengapa kau disini?” tanya sang kakak dengan
sedikit berteriak karena suaranya melebur bersama air hujan.
“Aku lapar!” balas anak kecil itu dengan suara paraunya.
Aldo, kakaknya, langsung menerobos hujan untuk
menghampiri adik laki-lakinya yang menunggu karena belum mendapatkan makan
siang. Wajahnya marah. Dia sebal mengapa Putra berlaku senekat ini.
“Pulang!” teriak Aldo kesal.
“Tidak mau!”
“Pulang sekarang!”
“Tidak mau! Aku lapar!” jerit si bocah yang kelaparan
hingga suara melengkingnya mampu menandingi guntur diatas sana.
“Kenapa kau tidak menungguku dirumah?!” Aldo mengguncang
bahu-bahu mungil adiknya yang terasa dingin seperti bongkahan es. Seketika
payung yang digenggam Putra jatuh.
Anak kecil itu menangis lagi, entah sudah yang keberapa
untuk hari ini. “Sudah kubilang! Aku kelaparan! Aku tidak bisa menunggu!” jerit
anak itu ditengah hujan.
Aldo menunduk. Dia mengerti rasanya tidak makan sejak
pagi karena beratus-ratus kali dia sudah merasakannya. Wajar jika Putra
menuntut makan siang gratis yang diberikan sekolah untuknya. Aldo adalah kakak,
yang bertanggung jawab penuh memelihara Putra agar terus hidup.
“Kakak! Berikan aku makanan sekarang! Aku lapar! Aku
lapar, kak!” Putra menarik-narik tangan Aldo sambil menangis tersedu-sedu.
Wajahnya yang mungil terlihat begitu menyedihkan ketika ditimpa tetesan air
hujan yang kejam.
Aldo ingin menangis melihat kondisi adiknya. Beginilah
kehidupan sehari-hari mereka usai ditinggal pergi oleh ayah dan ibu mereka.
Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Kini Aldo hidup sebatang kara dan
berkewajiban menghidupi adiknya. Terkadang dia merasa tidak kuat dengan
kehidupan. Ingin rasanya meminum racun serangga dan membunuh diri sendiri demi
tidak mau hidup sengsara. Tetapi Aldo tidak seegois itu. Dia tidak mau
meninggalkan Putra, adiknya yang tidak berdosa, dan membiarkannya hidup seorang
diri. Setidaknya menderita berdua lebih baik daripada sendirian di dunia.
Aldo dan Putra bersekolah di tempat ini. Sang kakak yang
berusia tujuh belas tahun bersekolah setiap tiga hari sekali, di hari yang
berbeda dengan Putra yang juga sekolah seminggu dua kali. Setidaknya sekolah
itu gratis bagi mereka yang benar-benar membutuhkan, bagi mereka yang masih
‘bersedia’ belajar di sarang cacing ini. Sekolah menyediakan makanan gratis
untuk siswa mereka. Itulah salah satu faktor mengapa Aldo dan Putra betah
disini, di bangunan tua nan angker yang sesungguhnya tidak nyaman dipakai
belajar. Mereka membutuhkan makanan untuk mengisi perut.
Lelaki kecil itu masih menarik-narik tangan kakaknya
penuh harapan. Perlahan, Aldo memasukkan tangannya kedalam saku. Dia
mengeluarkan sepotong roti yang sudah berkurang setengah. Mata Putra berbinar
begitu melihat sisa makanan itu. Dia segera merampas roti digenggaman kakaknya
dan menelannya bulat-bulat.
Aldo tersenyum kecil melihat Putra kecil yang tampak
begitu bersyukur dengan sisa makan siang gratisnya. Tangan lelaki itu
ditempelkan ke perutnya sendiri, merasakan getaran dari dalam sana yang
menuntut makanan lagi. Meski begitu dia tetap tersenyum.
Pagi itu, Aldo berangkat ke tempat kerjanya, stasiun
kereta api. Meski dibawah umur, penjaga disana memperbolehkan Aldo bekerja
sebagai pemungut karcis karena kasihan. Jadi keseharian Aldo sehari-hari selain
sekolah adalah disini, mencegat para penumpang dan menarik karcis yang mereka
beli sebelum memasuki gerbong.
Aldo menatap dirinya di cermin untuk sesaat. Seragam
birunya sudah rapi, dasinya memeluk lehernya dengan mantap, juga rambut yang
disisir kesamping. Sentuhan terakhir, Aldo memasang topi yang lebih mirip topi
security keatas surainya yang hitam legam.
Lelaki itu tersenyum kepada sosok dihadapannya yang
tampak sangat gagah dan kuat. Aldo bahkan belum percaya jika dia tumbuh
setinggi ini. Dia teringat ibunya yang selalu membelai kepalanya sebelum dia
tidur sambil mengucapkan kata-kata manis “Kelak kau akan menjadi pemuda yang
sangat tampan”. Begitu katanya.
Bayangan ayahnya ikut melintas dikepalanya. Aldo
tersenyum, begitu membayangkan segaris kumis tebal diatas bibirnya dan kulit
yang lebih gelap. Ayahnya begitu mirip dengan dirinya.
“Aldo...” panggil seseorang.
Aldo menoleh kearah seseorang yang baru saja melambai
kearahnya. Lelaki itu adalah satpam penjaga yang sehari-hari mondar-mandir
didepan gerbang stasiun.
“Iya pak?” Aldo berlari kecil mendekatinya.
“Sebentar lagi kereta akan datang, sebaiknya kau bersiap
anak muda.” satpam dengan kumis tebal itu menepuk pundak lelaki dihadapannya.
Meski rautnya tampak seperti ayah yang suka menghukum anak-anaknya, satpam itu
adalah orang yang sangat ramah kepada siapapun.
Aldo mengangguk sambil memamerkan senyumannya yang manis.
“Baik pak.”
Kamudian terdengar suara bel kereta api dari kejauhan.
Rupanya palang pintu di persimpangan kereta api sudah tertutup dan sebuah
kereta uap melaju mengisi kesunyian stasiun.
.
“Hei bocah kecil! Kemarikan makan siangmu atau aku akan
mencabut matamu!” seorang anak kecil dengan tubuh gemuk dan kaos kusut tampak
menarik kerah seorang anak kecil yang lain. Tubuh anak yang sedang diancam itu
begitu kurus. Kulitnya yang putih seperti salju seolah-olah berperan sebagai
kain flanel yang membungkus pipa kecil. Tidak ada tanda-tanda kesuburan dalam
dirinya.
“Jawab aku bocah lemah! Apakah kau mau memberikan makanan
itu untukku?!” tanya si bocah gemuk, dan kali ini dia membanting punggung si
bocah lemah hingga menabrak dinding berlumut dibelakangnya.
“Ta-tapi, aku masih lapar.” jawab si anak kecil yang
malang itu sambil memeluk kotak makan siangnya. Wajahnya tertunduk seolah malu
kepada matahari atas nasibnya yang selalu begini setiap hari.
“Apa?! Jadi kau berani melawanku?!” si bocah gemuk
menghampaskan kepala temannya kedinding.
“Sebaiknya kita hajar saja dia hingga dia tidak bisa
bicara!” kata teman disampingnya dengan gaya sok jagoan.
“Benar! Biar dia kapok dan mau membagi makanannya! Ibu
guru tidak adil. Dia memberikan porsi makanan yang sama kepada setiap anak,
sementara tubuhnya jauh lebih kecil dari pada kita!” kata teman disembelahnya
lagi yang juga berperawakan sama.
“Hahaha! Ide bagus!”
“Ja-jangan, aku”
‘Bugh!’
Terlanjur sudah. Kotak makanan yang dipeluk anak itu
melayang dan menumpahkan isinya kearas lahan kosong yang hanya berisi rumput
liar berduri.
“Agh!”
Si bocah yang keras kepala itu memukul pipi temannya
hingga kebiruan dan hidungnya mengeluarkan darah. Karena terlalu lemas, si
bocah malang langsung kehilangan kesadarannya. Tubuhnya yang tampak seperti
sebongkah bambu terhempas keatas rerumputan belakang sekolah yang tumbuh
menjulang. Sosoknya terkubur diantara rerumputan dan kekalahan. Si bocah gemuk
dan kedua temannya yang juga sama gemuknya menurunkan celana mereka kemudian
menyiramkan air seninya keatas tubuh si bocah malang.
“Hahaha! Makan itu dasar pelit!”
“Hahaha! Sebaiknya kita segera pergi nanti Ibu Guru
mengetahui kita!”
“Lalu bagaimana dengan bocah ini?”
“Biarkan saja dia disini. Syukur saja kalau dia mati!”
“Hahaha!”
Dan mereka meninggalkan si bocah kurus yang malang itu
dengan keadaan yang sangat menyedihkan.
***
Aldo menyeka keringatnya sambil menghitung hasil yang dia
dapatkan di hari ini. Puas rasanya mendapatkan uang dari jerih payahnya
sendiri. Lelaki itu melepas topi pemungut karcisnya lalu mengipaskan benda itu
ke wajahnya yang basah karena keringat. Untuk sejenak, pandangannya tertuju
pada sisa penumpang yang masih berlalu lalang disekitar.
“Hei nak. Bagaimana hasil kerjamu hari ini?” si satpam
yang tadi pagi sempat menemuinya kembali menghampiri Aldo.
“Cukup memuaskan. Penumpang hari ini sepertinya lebih
banyak dari kemarin.” jawab Aldo.
“Musim mudik sebentar lagi tiba dan orang-orang kota
mulai berdatangan. Kau harus bekerja lebih giat lagi.”
“Ah iya, aku mengerti.”
“Oh ya bagaimana dengan adikmu itu?”
“Putra?”
“Ya benar.”
“Aku jadi ingat harus segera pulang dan membawakan dia
makan malam. Sebaiknya aku segera berganti pakaian. Sampai jumpa paman.” Aldo
menaruh lembaran-lembaran rupiahnya kembali kedalam saku kemudian berlari
sambil melambai ke satpam berkumis tebal.
“Hati-hati!”
“Iya!”
“Ah Aldo…Aldo…kau memang seorang pekerja keras.” satpam
itu melipat kedua tangannya sambil menatap kepergian Aldo.
Usai melepas seragam dan berganti dengan pakaiannya, Aldo
segera mengayuh sepeda menuju warung makan terdekat untuk membelikan Putra
makan malam. Langit malam yang hampa seolah tertidur lebih awal, tidak tahan
melihat bagaimana perjuangan sang kakak untuk menghidupi adiknya tersebut.
Aldo menatap ke langit. Kosong tidak ada apa-apa disana.
Meski begitu dia tetap tersenyum karena hatinya sudah tentram. Penghasilan di
hari ini sudah cukup untuk membeli dua porsi makan malam untuk dia dan Putra.
Biasanya mereka hanya memakan sebungkus nasi untuk dibagi bersama.
Usai membeli dua bungkus nasi campur dan air putih, Aldo
kembali bersepeda. Namun dia terhenti begitu mengetahui rumahnya yang hanya
terdiri dari sepetak tanah berdinding keropos itu kosong. Lampu depannya tidak
menyala. ‘Putra tidak dirumah?’ pikirnya.
Aldo memutar balik sepedanya dan kembali mengayuh sepeda
menuju suatu tempat. Jika Putra belum pulang biasanya dia berkunjung ke toko Pak
Kadir untuk membantu-bantu demi beberapa lembar rupiah. Aldo memarkir sepedanya
didepan toko Pak Kadir.
Lelaki dengan kaca mata berkalung dan kulit keriput
terlihat sedang membaca buku disamping etalase toko. Kulit lelaki paruh usia
itu terlihat seperti kain nillon yang baru saja diremas-remas lalu ditempelkan
keatas tulang belulang. Meski sudah keriput dan memiliki kemampuan mendengar
lemah, Pak Kadir adalah sosok yang suka membantu orang-orang di sekitarnya.
“Pak Kadir!” sapa Aldo sambil melambai.
Pak Kadir menurunkan korannya lalu menyipitkan mata
kearah bayangan Aldo yang remang-remang di retina tuanya. “Aldo. Ada apa
mencariku?”
“Kukira Putra sedang disini. Kalau begitu aku harus
mencarinya.” Aldo terlihat kecewa.
“Dia tidak dirumah?” tanya Pak Kadir terkejut.
“Tidak. Selamat malam Paman!”
Aldo berjalan menuju sepedanya dan pada saat itu juga
seorang perempuan yang sebaya dengannya melintas di gang kecil itu. Perempuan
dengan rambut hitam lurus yang diikat kebawah itu adalah salah satu pengajar
suka rela di sekolah Putra.
“Hei.” panggil si gadis muda dengan suaranya yang
bergetar.
Karena merasa terpanggil Aldo berbalik dengan perlahan.
Keduanya saling memandang satu sama lain. Tiba-tiba saja hati Aldo yang tadinya
terasa membutuhkan selimut langsung menghangat begitu melihat gadis didepannya.
Begitu juga gadis itu yang gugup seketika.
Keduanya menaruh hati satu sama lain, tetapi tidak pernah
mau mengungkapkannya entah karena malu atau takut.
“ Ada apa La-Laras?” balas Aldo dengan terbata.
Gadis didepannya meremat jemarinya sendiri dengan grogi.
Dia menunduk sejenak kemudian kembali menatap lelaki yang dicintainya itu.
“K-kau mencari adikmu?” tanya Laras.
“Kau tahu dimana dia?”
“Dia di rumahku. Aku baru saja akan membeli plester luka
di toko Pak Kadir dan ternyata kau“
“Apa yang terjadi pada Putra?!” tiba-tiba emosi Aldo
meledak. Lelaki itu mengambil beberapa langkah kearah Laras. Air matanya sudah
terkumpul dalam waktu yang tidak lama.
“Dia. Sepertinya...
teman temannya “
“Apakah mereka menyakiti Putra lagi?” tanya Aldo dengan
suara keras. Dia tidak peduli apakah tetangga sekitar yang sedang beristirahat
akan meneriakinya karena bertingkah sesuka hati. Aldo sudah terlanjur tenggelam
dalam amarah. Dia mudah sekali terpancing jika hal itu ada sangkut pautnya pada
Putra.
“Aldo, tenang dulu“
“Ayo kita ke rumahmu.”
***
Putra meringkuk dengan bibirnya yang kebiruan diatas
tempat tidur milik Laras. Selimut tebal membungkus tubuhnya yang setipis
tripleks. Mata anak malang itu terpejam rapat seperti sedang pingsan. Nafasnya
berhembus dengan lembut, terdengar lirih namun begitu menyayat perasaan.
Aldo menelan ludahnya dengan berat. Dia tidak bisa
membayangkan penderitaan seperti apa yang dialami Putra. Sesungguhnya ini bukan
kali pertama Putra diperlakukan tidak adil oleh teman sebayanya yang berukuran
lebih besar darinya. Selama ini Aldo berusaha sabar dan terus menyemangati Putra
agar tetap bertahan dalam kondisi ini. Tetapi tetap saja, Putra hanya sebongkah
tongkat yang sebatang kara dan rapuh. Sosoknya yang polos dan penakut membuat
siapa saja memperlakukannya dengan sewenang-wenang.
“Aku menemukannya di kebun belakang sekolah. Pakaiannya
basah dan berbau tidak enak. Aku juga melihat kotak makanan Putra terbuang
sia-sia. Karena panik aku segera membawanya kemari. Lukanya cukup parah dan
sepertinya tidak bisa sembuh selama satu minggu. Hidungnya sempat berdarah.”
papar gadis muda dengan kulit sebening kristal itu sambil menempelkan plester
luka diatas alis Putra. Luka tonjokan yang kehijauan pun masih tampak empuk.
Perasaan Aldo sakit melihat adiknya yang selalu ditindas
seperti ini. Kepalan tangannya mengeras, begitu juga rahangnya. Aldo tahu betul
anak siapa yang sudah berlaku sekejam ini kepada adiknya. Lama dia mengabaikan
anak-anak itu, tetapi kini kesabarannya sudah tergerus habis. Aldo memutar
tubuhnya kemudian keluar dari kamar Laras.
“Aldo, kau mau kemana?” tanya Laras sambil mengikuti
lelaki berjaket itu.
“Membunuh ayah anak itu.”
“Apa?!” suara Laras meninggi. “Kau tidak bisa
melakukannya!” Laras menahan lengan Aldo.
“Lepaskan. Aku harus menunjukkan apa itu keadilan
kepadanya!”
“Tidak begini caranya! Gunakan akal sehatmu!”
“Seharusnya ayah anak itu yang menggunakan akal sehat
untuk mendidik putera bajingannya!” Aldo berhenti lalu menatap Laras dengan
mata yang sudah digenangi butiran kemarahan.
Laras terdiam, genggamannya pada lengan Aldo mengendur.
Dan beberapa detik kemudian Aldo sudah menghilang dari ruang tamu. Lelaki itu
meraih kemudi sepedanya kemudian mengayuhnya hingga terayun-ayun.
“Aldo! Jangan!” Laras berlari keluar mengikuti Aldo,
tetapi terlambat, dia sudah menghilang dari pandangan.
***
‘Tok tok tok!’
Atau yang lebih tepatnya
‘Brak! Brak! Brak!’
Terdengar gedoran tidak sabaran dari pintu sebuah rumah. ‘Brak! Brak! Brak!’ sekali lagi terdengar. Seseorang
membukakan pintu. Tampak lelaki dengan kaos singlet warna hitam berkulit
sedikit gelap menggaruk-garuk kepala sambil mengeriyipkan matanya kearah si
tamu.
“Bisakah kau sabar sedikit?” tanya Asri.
“Mana ayahmu?” tanya Aldo langsung.
“Ada perlu apa dengan ayah? Dia tidak dirumah!” jawab Asri
sedikit berteriak.
Aldo melirik seorang anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan
dibelakang tubuh Asri. “Minggir kau!” Aldo mendorong Asri lalu menghampiri si
anak kecil.
“Brengsek!” panggil Aldo dengan kasar. Si anak kecil
langsung gemetaran melihat sosok Aldo yang berdiri tepat dihadapannya.
“Hei ada apa ini?” tanya Asri.
“Anak itu. Adikmu. Dia menghajar adikku hingga pingsan.
Apakah kau tidak pernah memberikan contoh yang baik kepadanya?” tanya Aldo.
“Adikku?! Dia tidak melakukan apa-apa pada Putra!” jawab Asri
sambil membentak.
“Kau tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Putra! Dia
dipukuli hingga memar!”
“Lalu dengan dasar apa kau menuduh adikku!”
“Aku melihatnya selalu menindas adikku ketika di
sekolah!”
“A-aku tidak melakukannya!” bohong si anak bernama Sigit
itu.
“Kau dengar! Dia mengaku tidak melakukannya!” Asri
mendorong bahu Aldo.
Kini ganti Aldo yang mendorong dada lelaki tak
berpendidikan didepannya. “Tidak semua mulut anak kecil berkara jujur!” Aldo
melayangkan kepalan tangannya ke pipi Asri.
“Sial!” Asri membalas dengan hal yang sama.
Keduanya saling memukul satu sama lain. Terkadang Aldo
merintih karena merasakan bagian tubuhnya dihantam dengan tak berperasaan. Dia
terus berusaha melawan dengan melakukan hal serupa. Asri menarik pakaian Aldo
kemudian membanting tubuh lelaki itu ke atas meja hingga seluruh isinya berhaburan
keatas lantai. Toh tidak ada barang berharga di rumah itu. Keluarga Asri juga
sama miskinnya dengan Aldo.
“Agh!” Asri merintih begitu Aldo menendangnya hingga
menabrak dinding. Tetapi kemenangan itu tidak berlangsung lama. Asri meraih
pecahan botol minuman keras yang ada didalam tempat sampah lalu memukulkannya
kekepala lawannya.
Aldo terhuyung, tetapi dia kembali memberontak dengan
menendang hidung lelaki hitam itu.
“Hentikan!” sebuah suara memecah pertengkaran.
Seorang gadis memasuki rumah Asri tanpa permisi lalu
berdiri ditengah-tengah kedua pihak yang sedang beradu fisik. Aldo menatap Laras
dengan kaget. Air mata berlinang di pipi gadis itu. Sementara Asri langsung
ambruk.
“Kakak!” Sigit berlari kemudiam mengguncang tubuh
kakaknya yang mungkin akan kehilangan nyawa jika dipukul sekali lagi.
Setetes darah dari hidung turun melongsori bibir Aldo,
bersamaan dengan nafasnya yang hangat. Kepuasan terpancar dari pandangannya,
bersamaan dengan rasa sakit yang mulai menggelayuti seluruh persendiannya. Air
mata lelaki itu terkubur dalam-dalam meski luka memar dan benjol memenuhi
tubuhnya yang sebenarnya sedang lapar.
“Sudah selesai?” tanya Laras dengan intonasi yang mampu
membuat Aldo merinding. Keringat Laras melehi pelipisnya. Pakaiannya basah
karena keringat. Laras berlarian menuju rumah Asri hanya untuk menghentikan Aldo,
tetapi ternyata sia-sia, semuanya sudah terjadi. Dan ini adalah kesalahan
paling fatal yang pernah dilakukan Aldo. Tidak seharusnya dia menggunakan otot
sebagai jalan keluar masalah.
Laras mengambil langkah cepat keluar dari rumah Asri,
mengabaikan tangis Sigit yang semakin menjadi-jadi. Beberapa tetangga datang
dan membantu Asri memasuki kamar sambil mengumpat kearah Aldo. “Bocah sial. Bocah liar. Tidak tahu diri”. Aldo mendengar
semua ejekan itu.
Tetapi perhatiannya terus menjurus pada Laras yang kini
sedang membanting langkahnya. Aldo berlari menghampiri Laras sambil
terpincang-pincang. “Laras aku tahu ini salah, tapi“
“Seharusnya kau tidak usah menuruti kemauan nafsumu. Ini
hanya akan memperpanjang masalah.” Laras berjalan terus tanpa menoleh ke
belakang.
“Maafkan aku.” Aldo berusaha menyeret kaki-kakinya yang
kini terasa berat seperti beton. Tiba-tiba perutnya terasa sakit, Aldo merintih
dan Laras mendengarnya. Lelaki itu menekan sisi perutnya yang bagai
terpelintir. “Agh!” Aldo goyah lalu tumbang ditengah jalan.
“Aldo!” Laras berbalik kemudian berlutut didepan sosok
tak berdaya Aldo.
***
“Kakak!” Putra tersenyum usai melihat getaran dikelopak
mata Aldo. Perlahan-lahan Aldo membuka matanya yang melekat seperti magnet.
Samar-samar dia melihat bayangan Putra, orang yang paling dia sayangi. Senyuman
bocah itu merekah bebarengan dengan setitik air mata yang menggelindingi
hidungnya.
“Pu-Putra…” lirih Aldo sambil tersenyum juga.
Putra memeluk kakaknya, menyalurkan kehangatan tubuhnya.
Kini ganti Aldo yang terluka lebih parah dari pada dia. Putra sangat
mencemaskan keadaan Aldo.
“Kata ka’ Laras, Kakak memukuli kakak Sigit…” Putra
menangis tersedu-sedu.
“Tidak, itu tidak benar Putra…” jawab Aldo sambil
membelai kepala adiknya. Putra tidak pernah membolehkan Aldo memukul atau
melabrak siapa saja yang berlaku kasar kepadanya. Anak itu hanya tidak mau
membuat Aldo tampak buruk dimata orang lain.
“Jangan melukainya Kakak.” tangis Putra.
“Aku tidak melukai siapa pun Putra-ah… Tidak akan.”
“Bohong! Kau membohongiku! Aku tidak mau kau menjadi
orang yang jahat Kakak… jadi jangan melukai siapapun!” air mata Putra sudah membekas
di kaos putih yang Aldo kenakan.
Aldo membiarkan adiknya menangis disana. Benar, ternyata
pertengkaran bukan hal yang benar. Perkelahian yang sesungguhnya untuk
melindungi Putra malah membuat air mata Putra kembali jatuh. Meski sedikit
menyesal, Aldo sudah puas dengan apa yang dia lakukan malam ini. Sigit sudah
melihat sendiri bagaimana kakaknya dipukuli hingga babak belur. Aldo berharap
tidak akan terulang lagi apa yang sudah terjadi pada adiknya.
Laras memasuki ruangan sambil membawa nampan makanan. “Aldo,
kau ingat? Kau belum makan apapun, dan ini hampir pagi.” gadis itu menaruh
nampan dipangkuannya lalu mendorong sesendok makanan ke mulut Aldo.
Aldo baru ingat jika ternyata dia sedang berada di rumah Laras.
Gadis itu yang membawanya kemari dan mengobati lukanya. Untuk sesaat Aldo malu
sekali karena melibatkan Laras dalam masalah ini, tetapi senyuman gadis itu
seolah mengatakan ‘Itulah gunanya berteman’. Aldo jadi merasa sedikit tidak
enak.
Laras meniup sesendok bubur kemudian mendorongnya kedepan
mulut Aldo. “Buka mulutmu.”
Aldo melirik makanan itu dengan ragu.
“Ayolah kau bisa sakit.” tutur Laras. Gadis ini memang
benar-benar seorang guru.
Aldo berusaha menyimpan rasa malunya dan menuruti apa
gadis itu. Laras tersenyum manis. “Jangan bekerja dulu besok. Kau butuh banyak
istirahat. Begitu juga Putra, lukamu harus sering-sering diolesi obat jika
tidak mau terus seperti itu.”
Aldo jadi membayangkan betapa indahnya jika memiliki ibu
seperti gadis ini.
***
Dikeesokan harinya Aldo tetap datang ke stasuin kereta
api untuk memungut pundi-pundi rupiah demi memperpanjang nafasnya juga nafas
adiknya Putra. Laras sudah menahannya. Bahkan gadis itu mengunci pintu dari
luar agar Aldo tidak pergi bekerja, tetapi bukan Aldo jika tidak bertingkah
keras kepala.
Aldo hanya tidak mau tampak lemah di hadapan Laras, juga
di hadapan adiknya, Putra.
Luka memar menghiasi wajahnya yang penuh senyum. Sesekali
dia tertawa kecil begitu seorang penumpang menanyainya : “Mengapa wajahmu jadi seperti itu?” Aldo hanya menjawab : “Aku tidak apa-apa”.
Bahkan itu bukan jawaban yang sesuai. Lelaki itu hanya tidak mau berbohong.
Mungkin benar jika itu kebohongan kecil, tetapi tidak hanya satu atau dua orang
yang akan terkena tipu muslihatnya. Aldo akan merasa seperti seorang pembohong
jika seluruh penumpang kereta bertanya padanya tentang pertanyaan yang sama.
“Kakak. Ini untukmu.” seorang gadis kecil dengan syal
merah muda dan rambut ikal mendekati lelaki itu. Dia menyodorkan plester luka
kepada si pemungut karcis. Aldo terkekeh lirih.
“Ini untukku?” tanya Aldo.
Gadis itu mengangguk. Aldo mengambil plester merah jambu
dengan hiasan hati. Lucu juga jika dia mengenakannya. Namun akan lebih lucu
lagi jika gadis ini menangis karena plester itu terbuang ke tempat sampah hanya
karena harga diri si pemungut karcis.
“Aku akan memakainya nanti.” Aldo berkedip kepada gadis
yang sepertinya menaruh hati padanya tersebut. Dimasukkannya benda pemberian si
gadis kedalam saku seragamnya.
Pipi gadis kecil itu memerah.
“Semoga perjalananmu menyenangkan adik manis!” Aldo
melambai.
“Ayo Reni!” panggil orang tua gadis itu.
“Iya sebentar Mama!” balasnya kemudian hengkang dari
hadapan Aldo.
Sirine berbunyi pertanda jam istirahat bagi pada pekerja
stasiun. Aldo melepas topi kerjanya kemudian melangkah ke ruang ganti. Perutnya
keroncongan, mungkin dia harus membeli makan siang.
Usai berganti pakaian Aldo mengeluarkan beberapa lembar rupiah
dari sakunya. Dia menghitung penghasilannya selama satu minggu. Senyuman terukir
di bibirnya. Di angannya langsung tergambar wajah bahagia Putra ketika
mendapatkan sepatu baru di hari ulang tahunnya.
Tetapi sebuah teriakan terdengar menggema ke seluruh
penjuru stasiun. Aldo segera memasukkan uangnya kedalam dompet kemudian menaruhnya
di saku celana.
“Seseorang mencopetku!” teriak ibu-ibu muda dengan
histeris.
Aldo menghampiri si ibu-ibu yang lemas karena dompetnya
dibawa lari orang.
“Bibi, dimana orang yang mengambil dompet Anda?” tanya Aldo
yang ikut panik.
“Aku tidak tahu! Dia melintas disampingku lalu mengambil
hartaku begitu saja! Kau harus menolongku anak muda!” diam-diam ibu itu
mengambil dompet yang terselip di saku kanan Aldo.
“Bibi jelaskan dulu bagaimana ciri orang itu.”
Orang-orang yang ada disekitar mulai mengelilingi Aldo
dan si bibi.
“Dia pencopetnya! Orang ini mencopet dompetku!” tiba-tiba
si bibi menuding Aldo. Seluruh pasang mata terarah ke lelaki malang itu. Aldo
balas memandang mereka dengan wajah ‘Sungguh bukan aku!’ . Kemudian ditatapnya
si bibi yang ternyata memiliki niat jahat. Aldo meraba sakunya, dompetnya
hilang.
“Hajar dia! Habisi pencopet itu! Biar dia kapok!” Bibi
tidak dikenal berlari menjauh, meninggalkan Aldo yang terkepung puluhan calon
penumpan kereta.
“Aku tidak mencopetnya. Sungguh aku“kata Aldo dengan wajah
marah.
‘Duangh!’ tamparan
mentah hampir mematahkan tulang rahang bawahnya.
“Tidak ada maling yang mengaku dirinya maling!”
Aldo terguling ke lantai. Sebuah tendangan dari arah
lain. Dahinya mencium lantai sekali lagi. Aldo merintih, ingin menyerang tetapi
tidak bisa. Jumlah mereka jauh lebih banyak. Beberapa tendangan lain
mencabik-cabik sosoknya yang tidak berdaya.
“Dasar pencopet!”
“Maling tetap saja maling!”
“Huu!”
Air mata jatuh membasahi pipi Aldo. Perasaannya begitu sakit.
‘Kenapa aku sesial ini?’ gumamnya. Seseorang menarik kerah pakaian yang
dipakainya kemudian melayangkan pukulan kehidung Aldo. Bekas luka kemarin
tertimpa luka baru yang lebih parah, seperti coretan spidol hitam yang ditebali
dengan spidol warna merah. Darah segar mengucur dari hidungnya. Aldo kembali
terkapar diatas dinginnya lantai stasiun bekas jejak kaki kotor para
pengunjung.
Tetapi kemudian terdengar sirine polisi, diikuti jeritan
peluit yang membelah teriakan para calon penumpang yang sedang main hakim
sendiri.
***
“Hei bocah sial!” panggil seseorang dari belakang tubuh Putra.
Anak kecil itu baru saja pulang dari kedai untuk membeli makan siang Pak Kadir.
Putra memang sedang mengisi hari liburnya untuk bekerja di toko lelaki tua itu.
Langkah kaki Putra terhenti.
Dia kenal betul siapa pemilik suara itu. Beberapa langkah
kaki lain terdengar mendekatinya. Putra memutuskan untuk kembali melanjutkan
perjalanannya tanpa menoleh ke belakang. Itu semua akan membuang-buang
waktunya.
“Putra!” panggil Sigit dengan suaranya yang lantang.
Putra tetap menguatkan diri untuk berjalan tanpa
menghiraukan mereka. Dia sedang tidak berselera untuk dihajar. Luka kemarin
masih belum sembuh, dia tidak mau menambah luka baru.
“Apri, Rian, sepertinya anak ini minta diberi pelajaran
lagi.” Sigit mengambil sebutir batu lalu melemparkannya kearah Putra. Anak
kecil yang terkena lemparan batu itu mengaduh sesaat kemudian meraba kepala
belakangnya yang mengeluarkan darah. Kantung makanan di genggamannya terlepas. Putra
merasa pusing. Tubuhnya terayun kemudian jatuh.
Sigit dan kedua temannya yang sama-sama setan mendekati Putra.
“Kemarin kakakmu mendatangi rumahku. Dia memukuli kakakku
hingga tidak sadar. Apakah kau sudah berani mengadu hah?!” teriak Sigit sambil
menahan dada Putra dengan kakinya.
“Ti-tidak! Aku tidak pernah mengadu!”
“Bohong!” Sigit menginjak Putra.
“Sigit! Aku tidak bisa berna-“
“Apri! Tendang wajahnya!” perintah Sigit yang notabenenya
ketua dari ketiga gendut itu.
Dengan sekuat tenaga Putra menahan kaki Apri yang
sebentar lagi menyentuh pipinya. “Jangan l-lukai aku!” terdapat segelintir rasa
takut di suaranya yang bergetar.
“Berani melawan?” tanya Sigit sambil melotot. Kaki
kanannya yang sedang bertumpu didada Putra terasa semakin menekan. Putra
menggenggam pergelangan kaki anak itu. Dia berusaha menyingkirkannya.
Putra tidak mau lagi ditindas seperti ini. Jika dia tidak
berubah maka Aldo yang akan terluka. Putra hanya tidak mau melihat Aldo terus
membelanya. Sesuatu dalam hatinya tergugah usai melihat kondisi kakaknya
kemarin. Putra tidak mau hal itu terjadi. Sudah cukup Aldo menghajar Asri, Putra
tidak mau melihat Aldo membunuh ayah Sigit meski dia sangat membenci Sigit.
‘Kakak jadi tampak jahat karena kelemahanku… Aku harus
berani melawan mereka dan berhenti membuat Kakak terluka.’
“Ayo lawan aku bocah sial! Lawan aku! Hahaha!”
Putra mengepalkan tinjunya kemudian menonjok tulang
kering Sigit. Anak gendut itu mengangkat kakinya sambil mengaduh kesakitan. Putra
segera bangkit lalu memberanikan diri mendekati Sigit. Tinjunya kembali
menghantam sang lawan, tetapi kali ini mendarat dipipi gemuk Sigit.
‘Bugh!’
“Argh! Rasakan ini! Beraninya kau melawanku hah!”
Sigit menendang selangkangan Putra. Anak itu kembali
jatuh karena rasa sakit yang tak tertahankan. Dua anak yang lain ikut
menghajarnya sampai dia tidak bisa berkutik.
***
Hari sudah semakin gelap. Aldo terus berlari dengan
kondisi bersimbah keringat. Beberapa polisi mengejarnya. Dia terus berlari
memasuki kampung kumuhnya. Energinya telah terkuras habis tetapi kaki-kaki
kurusnya tidak bisa berhenti bergerak. Dia bisa tertangkap dan dipenjarakan.
“Berhenti atau kutembak kau sekarang juga, pencopet!”
Aldo tidak menggubris. Dia terus berlari tanpa kenal
menyerah. Perutnya keroncongan karena belum makan sejak siang tadi. Lelaki itu
memasuki gang kecil menuju kompleks kumuhnya.
Dan disana, Aldo melihat seorang anak kecil sedang
dihajar tanpa ampun oleh ketiga bocah bertubuh gendut. Sang kakak segera
berlari menghampiri adiknya yang sudah berdarah-darah.
“Putra!” panggil Aldo sambil berlari menghampiri anak
itu.
“Kakak…” balas Putra lirih.
Sigit melepas cengkeramannya dari kerah pakaian Putra
begitu sadar Aldo tiba diantara mereka. Putra melangkah terpincang-pincang
menghampiri kakaknya. Sigit dan kedua temannya diam-diam kabur entah kemana.
“Kakak… kakak…” panggilnya lirih. Air mata merembes
keluar dari kedua mata bocah itu. Bola matanya bergetar, ada setitik sinar dari
sana seolah dia sedang melihap api. Aldo memeluk adiknya yang sudah babak
belur.
“Putra… kenapa kau jadi seperti ini?” Aldo mendekapnya
penuh kasih sayang. Emosinya bergejolak heboh. Lelaki itu seakan tidak mau
melepas pelukannya.
“Aku tidak apa-apa kakak… aku baik-baik saja…” Putra
berusaha tersenyum disela-sela kesakitannya.
“Kenapa kau buat adikku jadi seperti ini?!” Aldo
berteriak kepada ketiga anak kecil ingusan itu. Lelaki itu bangkit kemudian
berjalan ke arah Sigit dan teman-temannya.
“Kakak! Jangan! Biarkan mereka pergi! Jangan pukuli
mereka!” Putra menarik pergelangan tangan kakaknya.
Sigit dan kedua temannya segera kabur.
“Aku menyayangimu kakak…” Putra terisak lirih.
“Aku juga Putra… kumohon teruslah bernafas.”
Aldo mencium puncak kepalanya sambil meneteskan air mata
juga. Detak jantung Putra melemah dan nafasnya yang pendek semakin tidak
terdengar.
‘DORR!’
Tembakan dari arah belakang terdengar hingga menggema ke
seluruh sisi gang itu. Aldo merasakan sesuatu yang basah di tangannya. Dia
mengangkat tangannya yang sudah bersimbah darah.
Putra mendongakkan kepala untuk menatap kakaknya. Matanya
sayu menyaratkan keputus asaan. Dan mungkin di titik inilah saatnya untuk
berhenti.
“Putra… Putra…”
Jemari kecil Putra menyentuh perutnya yang berhasil
dibobol peluru milik polisi yang mengejar Aldo.
“Kakak… jangan pernah memukuli keluarga Sigit…” lirihnya.
“Tidak! Putra! Aku minta kau terus bernafas jangan pernah
tinggalkan Kakak!” Aldo mengguncang bahu adiknya.
Anak kecil itu tersenyum disela-sela kepedihannya. “Aku
tidak papa… tenanglah kakak. Aku baik-baik…”
Putra mati didalam pelukan seseorang yang paling
disayanginya. Aldo hanya bisa menangisi tubuh Putra yang sudah terbujur kaku
dipelukannya.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar